Dr.Elviriadi ; Boleh Bakar Lahan 2 hektar, Ini Penjelasan Pakar Lingkungan
.jpeg)
PEKANBARU, seputarriau.co - Cuaca Propinsi Riau mulai memanas selepas ramadhan tahun ini. Kasus Karhutla berikut penegakan hukum terhadap pelakunya masih banyak yang sedang tahap persidangan. Menyikapi itu, pakar lingkungan Dr.Elviriadi, M Si mengemukakan pendapat ahli-nya terhadap fenomena tersebut.
Dihubungi awak Media seputarriau.co pada Senin malam (31/05/21), akademisi yang dikenal vokal itu menjelaskan seluk beluk Karhutla di Indonesia dan Riau.
"Ah tak jelas ini, Karhutla inikan soal eksploitasi gambut secara maniax, sehingga fragile (rawan terbakar), kok obat nya penegakam hukum terhadap kejadian kebakaran?", Tanya Elv heran.
Kepala Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI itu menilai ada jumping conclusion terhadap kebijakan penyelesaian Karhutla di Indonesia.
"Ada jumping conclution (kesimpulan yang melompat), karena berupaya menutupi fakta eksploitasi maniax terhadap rawa gambut para perusak lingkungan. Lalu menyimpulkan terapinya penegakan hukum. Pro justitia terhadap pelaku Karhutla secara serampangan. Ini jelas menabrak logika ilmiah dan membuat berjatuhan "tumbal" dari pribumi Melayul," beber Timbalan Panglima PNBR itu
Selanjutnya, Ketua Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah itu menguraikan pengalamannya menjadi ahli di pengadilan negeri di Riau.
"Sepanjang saya memberi keterangan ahli di Persidangan, sering saya uraikan filosofi dan hal hal yang mendasar terkait eksploitasi gambut. Harusnya pemerintah melakukan evaluasi terhadap maniax eksploitasi dan kesenjangan penguasaan lahan-hutan. Seharusnya menghormati pengetahuan-kajian, melihat fakta lapangan dengan jujur. Jangan rakyat kecil menjadi tumbal peradaban kapitalis yang super-ambisius," sindirnya.
"Karena itu, kata penulis buku "Melawan Tirani Ekologis" ini, Saya jelaskan Pasal 69 ayat 2 UU Perlindungan dan Pengelolaan LH kepada Majelis Hakim. Kenapa boleh bakar maksimal 2 hektar? Karena masyarakat lokal selama berabad abad membakar lahan dengan varites lokal tak pernah terjadi kerusakan lingkungan seperti sekarang. Kearifan lokal leluhur itu sejalan dengan "carrying cappacity" alam lingkungan. Artinya alam lingkungan masih menenggang oleh pengolahan yang sederhana, unsur biotik dan abiotik bisa pulih melalui siklus alamiah. Reselience Faktor (homoestatik alam) yang diciptakan leluhur nasyarakat lokal itu begitu hebatnya. Kagumlah kita, tetapi kaum kapitalis menghancurkannya melalui konspirasi elit birokrat buta hati, saya prihatin," katanya.
Ah sudahlah, ketika pemimpin tidak berpegang pada pengetahuan dan ethics, maka tunggulah kehancuran. Riau dan Kalimantan menunggu kepunahan ekologis, inilah nasib dan masa depan kita. Apa boleh buat," pungkas anggota Society of Ethnobiology Ohio State University yang selalu gundul kepala demi hutan.**
(MN)
Tulis Komentar