Indonesia Kekurangan Dokter Konsultan Ginekologi Onkologi

SLEMAN, seputarriau.co - Kanker ovarium merupakan salah satu keganasan ginekologi yang sampai saat ini masih menempati peringkat tiga setelah kanker rahim dan kanker corpus uteri. Sayangnya, Indonesia tengah kekurangan dokter konsultan ginekologi onkologi untuk menangani itu.
Guru Besar FKKMK Universitas Gadjah Mada, Heru Pradjatmo mengatakan, untuk meningkatkan keberlangsungan hidup penderita kanker ovarium dibutuhkan penanganan yang lebih optimal. Karenanya, penting meningkatkan jumlah peminat konsultan ginekologi onkologi yang merata.
"Sumber daya manusia kita saat ini tercatat dokter konsultan ginekologi onkologi yang aktif ada 97 orang dan sebagian besar berada di pusat pendidikan, sedangkan spesialis obstetri dan ginekologi sampai akhir Februaru 2018 tercatat 3.861 orang," kata Heru di Balai Senat UGM.
Ia menuturan, berbagai penelitian telah menunjukkan beberapa faktor resiko kanker ovarium yang meliputi faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup. Namun, secara klinis perkembangan kanker ovarium berbeda dengan leher rahim karena tidak ada gejala klinis awal yang jelas.
Hal itu yang membuatnya sulit dideteksi secara dini. Selain hampir tidak bergejala, letak ovarium sulit dijangkau karena terletak dalam panggul antara organ viscera yang tidak bisa dilihat secara langsung.
Sehingga, lanjut Heru, pengambilan sampel jaringan ovarium tidak mungkin dilakukan tanpa prosedur yang invasif. Ia menekankan, kondisi itu yang mengakibatkan kanker ovarium 65-75 persen didiagnosis pada stadium lanjut.
"Kanker ovarium jarang ditemukan pada stadium awal karena berkembang secara tersembunyi dan hampir tidak bergejala," ujar Heru.
Untuk itu, ia melihat peneliti ginekologi onkologi memiliki tantangan menemukan metode pemeriksaan diagnosis awal penderita kanker ovarium yang noninvasif, spesifik dan sensitif. Sehingga, keberlangsungan hidup penderita dapat ditingkatkan.
Selain itu, dokter spesialis obstetri dan ginekologi sebagai ujung tombak penanganan kanker ginekologi, harus lebih selektif dalam menangani kasus dengan tumor ovarium. Baik memilih mana yang masih dapat ditangani di tempat pelayanan dan mana yang harus dirujuk.
Menurut Heru, keputusan memilih status penderita itu menjadi sangat penting, terutama di era BPJS seperti sekarang. Yaitu, saat pasien dirujuk dari Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat 1 ke PPK 2, tempat biasanya dokter Sp OG berada.
"Di sinilah Sp OG berperan penting dapat melakukan seleksi dengan menentukan skoring indeks keganasannya, sehingga dapat menentukan kasus mana yang masih dapat ditangani di tempat pelayanannya," kata Heru.
Ia menambahkan, penting pula dilakukan peningkatan peran Sp OG agar lebih memberikan penanganan penderita kanker ovarium dengan optimal. Itu dapat dilakukan dengan mengacu ke rekomendasi yang disepakati dan meningkatkan sistem rujukan sampai PPK 3 untuk kasus yang tidak dapat ditangani.
(MN/ Republika)
Tulis Komentar