Indonesia yang Malang

SAWAHLUNTO, seputarriau.co - sebuah Kota kecil yang berjarak 95 km dari ibukota Sumatera Barat. Sawahlunto adalah salah satu saksi bisu bagaimana kekejaman bangsa asing menjajah Indonesia. Sebuah peninggalan yang patut kita ketahui adalah Lubang Mbah Soero atau Lubang Mbah Suro. Lubang ini tak lain dan tak bukan adalah lubang bekas tambang batubara. Ini adalah lubang utama bekas tambang batubara yang ada di Tangsi Baru Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar.
Meski hanya lubang bekas tambang, tapi lubang ini menggambarkan sejarah dan kisah-kisah yang memperihatinkan dari rakyat Indonesia diwaktu itu. Dan saat itu lebih dikenal dengan sebutan “Orang Rantai”. Orang rantai adalah sebutan untuk pekerja tambang yang merasakan kesengsaraan pada zaman Belanda yang dikirim dari berbagai daerah di Hindia Belanda termasuk Batavia. Para buruh ini dirantai sambil dipaksa menambang batubara demi kepentingan Belanda.
Disebut Lubang Mbah Soero, karena pada masa itu seseorang yang bernama Mbah Soero banyak dikenal sebagai mandor orang-rang rantai dan masyarakat. Mbah Soero juga dikenal memiliki ilmu kebathinan yang tinggi. Ia juga panutan warga. Mbah Soero ini memiliki lima anak dan 13 cucu. Istrinya adalah seorang dukun beranak. Mbah Soero meninggal sebelum tahun 1930 dan dimakamkan di pemakaman orang rantai, Tanjung Sari, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat.
Kejadian yang mengisahkan seribu pertanyaan ini, sangat menggambarkan betapa pedihnya hidup rakyat indonesia ketika dijajah bangsa lain. Mbah soero, adalah salah satu contoh dari kekejaman orang-orang yang tidak berperikemanusiaan seperti mereka. Bukan hanya itu, masih banyak lagi cerita yang meninggalkan luka rakyat-rakyat indonesia oleh bangsa-bangsa yang tidak bertanggung jawab.
Walaupun kita sudah merdeka dari jajahan bangsa asing dan 70 tahun sudah bangsa ini merdeka. Namun sebenarnya kita belum menjadi bangsa yang benar-benar bebas. Bebas dalam artian, bebas penjajahan fisik maupun mental. Tapi pada saat sekarang ini, memang kita tidak dijajah secara fisik. Tapi secara mental, ekonomi, dan budaya kita masih sebagai bangsa yang terjajah. Banyak hal yang masih difikirkan oleh bangsa lain untuk mengusai pemikiran kita. Kita tidak bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Kita belum bisa mengatur negeri kita sendiri.
Suatu ketika mbah Soero pergi ke salah satu rumah saudagar kaya. Ia berniat untuk menanyakan pekerjaan yang kini sedang digarap oleh orang-orang rantai. “Tuan, bagaimana rencana kita selanjutnya setelah pekerjaan yang tuan berikan ini usai?”. Tanya mbah soero kepada saudagar itu. “Kamu teruskan sajalah Soero, nanti setelah semua pekerjaan itu usai akan ku pandu apa yang harus kalian lakukan selanjutnya”, jawab saudagar itu dengan santainya sambil meminum kopi yang ada di depannya. “baik tuan”. Jawab mbah Soero dengan lugasnya. Dengan cepat Soero pergi meninggalkan rumah saudagar itu.
Setibanya ia di lubang tambang ia langsung duduk dan berbicara kepada anak buahnya tentang apa yang telah ia bahas dengan saudagar kaya itu. Dan anak buahnya mengerti atas apa yang ia bicarakan dengan mandornya itu. Kemudian setelah usai berbicara mereka kembali melanjutkan pekerjaan dengan semestinya. Walaupun Soero dan para anak buah yang ada di lubang itu telah melaksanakan pekerjaan yang di suruh oleh saudagar itu. Tapi Soero dan yang lain mendapat hasil yang tidak semestinya. Mereka disiksa dan tidak boleh istirahat, dan tidak diberi makan. Rintihan dari para pekerja ini sangat miris untuk didengar. Tolong keluarkan kami!!.....jangan siksa kami.....bebaskan kami......!!
Tapi sebetapa pun mereka merintih tak kan di dengarkan oleh saudagar itu. Walaupun kerja mereka sudah benar tapi mereka akan tetap disiksa. Bagi orang-orang rantai yang sudah mati. Mereka akan di kubur atau ditumpuk kedalam lubang tersebut.
Begitu tersiksanya mereka semua, semua hal itu dilakukan hanya untuk demi kesenangan saudagar itu. Pekerjaan yang orang rantai lakukan untuk mengambil tanah hitam yang berada didalam perut bumi yang disebut batubara. Mbah Soero dan para anak buah nya mungkin diperalat hanya untuk kas saudagar itu. Ntah bagaimana mereka bisa menjalani kisah hidup seperti itu sampai akhir hayat mereka yang berada di lubang itu.
Tak ada yang berani melawan saudagar-saudagar itu. Bagi yang membantah kata-kata saudagar itu mereka akan dibunuh dan siksa. Dan pada akhirnya para saudagar itu pergi dari daerah itu karna persediaan batubara yang ada d lubang itu sudah mulai menipis atau bisa di katakan habis. Dan pada saat itulah penderitaan orang rantai dan masyarakat di daerah itu barulah berakhir dan berganti dengan kedamaian dan kebahagiaan.
(ND)
Tulis Komentar