Proyek Siluman Perpustakaan DPR RI se-Asia Tenggara Rp 570 Miliar

Foto : perpustakaan DPRD RI
JAKARTA, seputarriau.co - Ketua DPR Ade Komarudin ngotot akan membangun gedung perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta. Perpustakaan tersebut akan mengacu pada model Library of Congress di Amerika Serikat.
 
Keingingan Akom, sapaan akrab Ade tersebut lantaran didorong oleh beberapa orang yang mengaku dirinya sebagai cendekiawan. Beberapa di antaranya ialah Pengamat Rizal Mallarangeng, Sastrawan Ayu Utami, dan Politikus Partai Demokrat Ulil Abshar Abdalla.
 
Namun semangat politikus Golkar tersebut terlalu menyala-nyala. Padahal proyek perpustakaan tersebut tidak tercantum dalam rencana umum pengadaan tahun anggaran 2016 yang disetujui Kemenkeu masuk dalam postur APBN.
 
Sesuai dengan data yang dirilis oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) DPR RI, hanya tercantum rencana pembangunan gedung baru DPR, oliklinik, dan Alun-alun Demokrasi. Antara lain ialah, pembangunan Gedung DPR RI dan Poliklink dengan pagu anggaran sebesar Rp 480 miliar itu. Kemudian manajemen konstruksi pembangunan Gedung DPR RI dan Poliklinik pagu anggarannya Rp 10 miliar.
 
Sedangkan pelaksanaan konstruksi pembangunan Alun-alun Demokrasi patokan anggarannya Rp 69 miliar. Ada pula perencanaan konstruksi pembangunan Alun-alun Demokrasi dengan pagu anggaran Rp 9 miliar. Lalu manajemen konstruksi pembangunan Alun-alun Demokrasi pagu anggaran senilai Rp 2 miliar.
 
Seluruh rencana pembangunan yang jika ditotal pagu anggaraanya senilai Rp 569.829.350.000 atau kurang lebih Rp 570 miliar tersebut, belum tuntas melalui tahap lelang dan eksekusi. Sebab Presiden Jokowi menebarkan kebijakan moratorium bagi pembangunan gedung kantor kementerian dan lembaga negara.
 
Akom pun di awal menjadi pengganti Setya Novanto sebagai ketua DPR, setuju dengan adanya moratorium. Bahkan dia mencoba berkoordinasi dengan BURT DPR dan Sekjen DPR untuk melaksanakan kebijakan Jokowi tersebut.
 
Namun Akom berubah pikiran ketika salah satu dari 7 megaproyek yang harusnya dibangun secara multiyears, ditarik ke depan. Dengan menjadikan proyek perpustakaan se-Asia Tenggara sebagai tameng, Akom tak peduli lagi dengan adanya moratorium.
 
"Saya kira kalau itu hanya untuk gedung (baru DPR), kita bisa di sini berusaha maksimal gimana atasi itu tanpa harus bangun gedung sampai sebesar itu. Tapi usulan cendikiawan bilang kalau bisa anggaran dialihkan untuk itu (Perpustakaan baru DPR). Kalau enggak bisa ya gak papa. (RP) 570 miliar itu bukan anggaran Perpustakaan aja. Tapi itu anggaran untuk pembangunan gedung yang dialihkan. Proses pengalihan juga saya bicarakan lagi Kemenkeu, di internal sendiri harus diselesaikan," jelas Akom merencanakan pengalihan anggaran gedung baru DPR dan Alun-alun Demokrasi untuk perpustakaan baru DPR.
 
Menanggapi hal tersebut, Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi menganggap pembangunan perpustakaan DPR se-Asia Tenggara hanyalah cara untuk mengelabui publik. Menurutnya, DPR putus asa karena publik menolak pembangunan gedung baru DPR dan Alun-alun Demokrasi. Akan tetapi setelah dirasuki para cendekiawan, Akom mendadak mendapat amunisi baru.
 
"Ketua DPR, Ade Komarudin tidak punya konsisten dalam ucapannya. Mendapat akal-akalan baru untuk pembangunan gedung baru. Tapi kali ini judulnya bukan gedung baru. Ini sangat gawat sekali, kalau publik setuju dan mendukung pembangunan Perpustakaan, maka gedung lain yang baru, yang mewah dan megah akan dibangun DPR," kata Uchok kepada Merdeka.com, Minggu (4/4).
 
Ditemui secara terpisah, Sekjen DPR Winantuningtyastiti pun tahu jika pagu anggaran gedung baru DPR dan Alun-alun Demokrasi tak bisa dialihkan sembarangan. Akom gagal menjalin komunikasi dengannya.
 
"Iya makanya nanti harus dimulai lagi karena semua pembangunan negara harus izin presiden, jadi nanti kirim surat lagi. Jadi dari awal lagi karena penggunaan anggaran negara harus sesuai dengan nomenklaturnya. Kalau nomenklaturnya buat pembangunan ruang kerja anggota, ya enggak boleh buat bangun perpustakaan. Kalau bangun perpustakaan ya harus mengajukan lagi dari awal. Kan belum ada anggaran perpustakaannya," tutur Winantuningtyastiti.
 
Dihubungi secara terpisah, Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto menganggap garis besar sistem di dalam tubuh DPR buruk dalam perencanaan penganggaran. Menurutnya, sistemnya tidak terbangun dengan baik mengenai transparansi dan akuntabilitas.
 
"Dalam hal ini ketua DPR agak arogan menentukan dan mengarahkan planning dan anggaran untuk perpustakaan. Ini menandakan buruknya perencanaan di DPR. Kan tidak bisa kemudian moratorium dialihkan ke program atau proyek yang tidak direncanakan dari awal. Kalau dialihkan, ini kan istilahnya proyek tanpa ada planning dari awal. Kalau tanpa planning, jatuhnya pasti pemborosan. Ini agak liar dalam hal menentukan prioritas program dan proyek. Kalau masalah nominal itu otomatis akan berimpilkasi pada potensi pemborosan dan korupsi karena dalam desain perencanaan tidak ada perpustakaan," ungkap Yenny kepada Merdeka.com.
 
Dari hasil penelusuran Fitra pun, kata Yenny, Akom tidak melakukan konsolidasi ke internal pimpinan DPR, BURT DPR, dan Sekjen DPR. Dia berujar bahwa proyek siluman Perpustakaan baru DPR ini akan berpotensi korupsi.
 
"Motifnya sudah kelihatan kalau kemudian program atau proyek tanpa ada perencanaan, kecenderungannya ada pemborosan dan bisa berpotensi korupsi, modusnya by project tanpa desain. Project inilah yang bisa dimanfaatkan oleh elit-elit tertentu. Yang perlu dikerjakan DPR adalah memperjuangkan nasib rakyat melalui fungsi yang melekat padanya. Jangan selalu berpikir selalu fasilitas lebih," tandasnya.
 
 
 
 
(IS/mrdc)


[Ikuti Seputar Riau Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar