Musim Peralihan, Pengungsi Lombok Waspada Malaria dan Dengue

LOMBOK UTARA. seputarriau.co – Langit berawan bahkan mendung mulai singgah di sebagian wilayah di Indonesia, tak terkecuali langit di atas Pulau Lombok. Hujan mulai datang, meski tidak setiap hari. Hampir dua bulan pascagempa besar 7,0 SR mengguncang Lombok, puluhan ribu keluarga masih menetap di tenda-tenda terpal, sembari berharap agar musim hujan yang mulai datang tak membawa kegetiran baru.
Akhir Bulan September biasanya memang menjadi ujung dari kemarau di sebagian besar wilayah di Indonesia. Mengutip perkiraan cuaca Badan Meteologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), hujan dengan intensitas sedang-lebat sudah mulai berpotensi di beberapa wilayah di Indonesia. Hujan ringan dengan jeda sehari atau dua hari pun mulai turun di sejumlah wilayah yang sebelumnya dilanda kemarau panjang.
Permulaan musim penghujan ini pula yang kini telah menjadi kekhawatiran baru bagi puluhan ribu pengungsi penyintas gempa di Pulau Lombok. Tinggal di tenda-tenda terpal selagi hujan deras menjadi pengalaman pilu. Belum lagi dengan ancaman kerentanan fisik akibat perubahan cuaca.
Seperti yang disampaikan dr. Muhammad Riedha, MSc selaku koordinator Tim Medis ACT untuk Pemulihan Lombok. Dalam pernyataannya, dr Riedha mengatakan transisi musim kemarau ke musim hujan bakal membawa efek kesehatan yang cukup mengkhawatirkan bagi puluhan ribu penyintas gempa Lombok.
“Beberapa hari terakhir, mulai terjadi perubahan iklim dari sebelumnya panas dan kering menjadi penurunan suhu dan peningkatan kelembaban udara. Hal ini akan menimbulkan efek kesehatan yang berisiko sedang-tinggi bagi pengungsi gempa Lombok yang tinggal di tenda-tenda pengungsian,” jelas dr. Riedha.
Salah satu bagian dari Tim Medis ACT di Lombok, Devi Ratna Asih Msc pun menambahkan, perubahan cuaca akan dibarengi dengan dampak lain yang bisa langsung memantik munculnya penyakit-penyakit bagi para pengungsi.
“Dampak perubahan cuaca akan memicu longsor, banjir atau air yang menggenang, pertumbuhan mikroba, perubahan vektor patogen terkait penyakit menular, kerusakan lahan perkebunan/sawah. Impaknya akan langsung dirasakan masyarakat yang mengungsi di tenda-tenda itu,” ujarnya.
Kondisi pengungsian yang tak layak, ditambah efek domino dari perubahan cuaca itu, tambah dr. Riedha secara langsung akan memantik munculnya penyakit-penyakit berisiko tinggi. “Seperti misalnya muntaber akibat keracunan makanan karena bakteri salmonella, malaria, demam berdarah, penurunan kesehatan jiwa/mental,” paparnya.
Semua harus bergerak menjaga dan memulihkan Lombok
Lombok memang belum pulih. Melewati fase darurat bencana, kini fase pemulihan sedang diburu oleh semua pihak. Termasuk dengan tantangan baru datangnya musim penghujan.
Sementara ratusan hunian terintegrasi (Integrated Community Shelter) ACT sudah mulai digunakan warga penyintas gempa di Kecamatan Gangga, ACT pun mengajak semua pihak bergerak menjaga Lombok dari bahaya penyakit khas musim peralihan.
Tim Medis ACT telah menyusun rekomendasi terkait kewaspadaan jelang musim penghujan. Menurut paparan dr. Riedha, perlu ada kolaborasi lintas sektor, karena upaya pencegahan penyakit ini adalah hal yang kompleks.
“Mulai dari edukasi kebersihan dan sanitasi, deteksi dini penyakit, kerja bakit membersihkan saluran air, fogging dan pemasangan kelambu di daerah rentan malaria dan DBD, pembuatan lubang biopori agar penyerapan air lebih baik, mencegah menumpukan sampah dan genangan air pascahujan,” tutur dr. Riedha.
(rls/ act)
Tulis Komentar