Foto : Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM, ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU
Opini, seputarriau.co - Di hari nan berbahagia ini, kita memperingati HUT ke-79 Kemerdekaan RI. Berkaitan dengan itu timbul pertanyaan: sudahkah kita meresapi makna merdeka dan mempertahankannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila? membahas merdeka memang subjektif. Lain orang lain pandangan. Mengacu ke kamus, KBBI mendefenisikan kata merdeka antara lain: bebas (dari hambatan, penjajahan dan sebagainya); Tidak terikat atau tidak tergantung kepada pihak tertentu. Agama berpandangan lebih komprehensif. Bahkan dalam ajaran Islam kemerdekaan merupakan fitrah. Itulah kenapa Islam gencar memerangi setiap pemikiran dan perbuatan merendahkan harkat dan martabat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Setiap kamu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada perbedaan antara yang Arab dan yang bukan Arab, dan tidak ada perbedaan antara yang berkulit putih dengan berkulit hitam kecuali takwanya” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Islam memandang kemerdekaan terpadu. Mulai aspek individu hingga sosial. Islam begitu protektif dan preventif. Melarang seseorang berbuat sesuatu yang merusak atau merugikan diri. Tujuannya menjaga kemuliaan manusia dan hak merdeka yang dimiliki agar tetap berjalan di atas rel fitrah.
Selain memerdekakan pribadi manusia dari ketertundukan atas manusia lainnya dan membebaskan diri dari pandangan orang lain, ajaran Islam menghendaki dampaknya ke sesama manusia. Bentuknya saling menghargai, adil dan tidak zalim. Sebab merdeka bukan berarti bebas lepas sampai menegasikan kemerdekaan orang. Jika kita napaktilas sejarah perjuangan kemerdekaan, perlawanan terhadap penjajah berawal dari sikap ketidakadilan, kezaliman dan penindasan. Pembangunan bukannya tak ada di masa penjajah. Bahkan kualitas infrastruktur yang dibangun di zaman tersebut jauh lebih megah dan kuat hingga sekarang. Entah itu benteng, gedung perkantoran, jalur kereta api dan seterusnya. Perekonomian pun luar biasa. Buktinya nusantara masa itu dikenal sentra perdagangan dan pusat rempah-rempah dan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) lain. Akan tetapi semua dikelola untuk kepentingan penguasa. Sementara pribumi dimiskinkan dan diperas tenaga dan hasil mata pencahatiannya lewat berbagai upeti. Puncaknya kehilangan martabat selaku manusia.
Pandangan manusia merdeka menurut agama dan norma di atas mendasari penyusunan UUD 1945 dan Pancasila. Keduanya warisan perjuangan kemerdekaan. Nilai-nilai yang terkristalisasi dalam konstitusi dan Pancasila pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Sekarang tugas kita menjaga dan mempertahankannya dari pihak-pihak yang merongrong dan mendegradasi nilai-nilainya. Pihak dimaksud selalu ada. Di level manapun. Ketika diamanahkan kepemimpinan bukannya mewujudkan kesatuan malah memprovokasi; bukannya membuat bangsa berdaulat justru semakin ketergantungan akut ke pihak asing; bukannya mendistribusikan keadilan dan kemakmuran ke rakyat malah ke keluarga dan handai taulan; kemerdekaan berpendapat yang dijamin konstitusi dikesampingkan dan seterusnya. Di tingkat bawah juga begitu. Falsafah kemerdekaan pada pembukaan UUD 1945 dinista dan dilecehkan. Contohnya beberapa waktu lalu sebanyak lima aktivis muda Ormas keagamaan bertolak ke negara penjajah israel dan menemui pejabat di sana di tengah pembantaian rakyat Palestina. Ironisnya bukan pertama kali terjadi. Di tahun 2018, Yahya Cholil Staquf yang kini menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga pernah menemui Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Pola Pikir dan Sikap
Mungkin kita merdeka secara fisik, namun dari segi sikap dan pemikiran belum sepenuhnya merdeka. Mengulas realita kekinian cara paling objektif untuk menilai sekaligus bahan kontemplasi. Teranyar dan paling heboh soal aturan yang menekan Paskibraka putri berjilbab agar melepas hijabnya. Tercatat 18 dari 76 anggota Paskibraka 2024 (termasuk perwakilan Riau) yang semula mengenakan hijab namun tanpa jilbab saat dikukuhkan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Sungguh memilukan sekaligus memalukan. Disamping paradoks, dimana mayoritas muslim tapi serasa minoritas, lebih mengherankan lagi kok bisa-bisanya lembaga negara diisi oleh pejabat yang menentang konstitusi dan Pancasila? Herannya sebelum dilantik Presiden Jokowi menjadi Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi yang meminta Paskibraka melepas jilbab berkali-kali bikin kontroversi. Selain melarang cadar di kampus yang dipimpinnya, yang bersangkutan dalam wawancara tim Blak-blakan situs berita detikcom pernah menyebut agama musuh Pancasila. Kendati begitu, Kepala Staf Presiden Moeldoko membela pernyataan Yudian Wahyudi tak bermaksud menyudutkan agama.
Berangkat dari peristiwa cukup miris. Berkaca pada tema peringatan HUT ke-79 Kemerdekaan RI tahun 2024 "Nusantara Baru, Indonesia Maju", sikap dan kebijakan elit negara justru kontraproduktif. Mustahil Indonesia maju selagi warisan pendahulu bangsa yang korban jiwa dan raga gagal dilestarikan dan dipertahankan. Perlu ditegaskan, penjajahan tidak hanya dilakukan orang asing. Esensi penjajahan terletak pada sikap dan perbuatan. Oleh karena itu, ketika Presiden Jokowi berkata masih merasakan “bau-bau kolonial” di Istana Kepresidenan Jakarta dan Bogor saat memberikan pengarahan kepada Kepala Daerah seluruh Indonesia di Ibu Kota Nusantara (IKN) (13/8/2024), pidato beliau terasa tidak substantif. Toh gedung cuman alat mendukung aktivitas. Itupun kokoh dan kaya unsur historis.
Pernyataan lebih urgen dan relevan diajukan semestinya bagaimana Kepala Negara mengevaluasi perjalanan pemerintahan mulai pusat hingga daerah supaya bebas dari praktik ala kolonial. Karena setakad ini kerap didapati kebijakan serupa. Tak usah jauh-jauh, seputar IKN saja misalnya. Tatkala masyarakat kian terbatas dan sulit mengakses dan manfaatkan lahan, Presiden Jokowi obral konsensi Hak Guna Usaha (HGU) sampai 190 tahun serta Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) 160 tahun bagi investor di IKN.
Beleid dinilai lebih buruk dari hukum agraria kolonial. UU Agraria Kolonial saja membolehkan hak konsesi perkebunan paling lama 75 tahun. Itupun pemberian sangat hati-hati. Ironi selanjutnya Pemerintah bangga air keran gedung IKN bisa langsung diminum. Di lain sisi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas atau 79 persen rumah tangga di Kaltim minum air kemasan berupa gelas, botol atau galon. Tentu ada alasan dibalik masyarakat minum air kemasan.
Di luar itu, komentar pejabat turut mengundang keprihatinan. Diantaranya Kepala Otorita IKN sebelumnya Bambang Susantono menuturkan, penduduk IKN pada 2045 dibatasi tidak lebih 2 juta jiwa. "IKN ini 4 kali luas Jakarta. Tapi, penduduknya paling 2 juta. Kenapa? kita gak mau mengulangi apa yang terjadi di kota-kota di Indonesia yang over capacity," kata Bambang dalam Seminar Masa Depan Pasca IKN bersama Pemprov DKI Jakarta. Sepintas terkesan baik, namun di sisi lain mengesankan IKN bagi kalangan tertentu saja. Padahal tak sedikit duit rakyat untuk pembangunan, meski mengenyampingkan urusan prioritas lain kayak pendidikan dan kesehatan.
Sebagai penutup, di peringatan HUT RI ke 79 mari bermuhasabah: sudahkan kita merdeka secara maknawi? Jangan-jangan makin jauh dari fitrah merdeka? Sekali lagi, penjajah memang telah hengkang. Tetapi warisan sifat penjajah terus eksis. Soekarno berujar
“Perjuanganku mengusir penjajah lebih mudah, perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Merdeka maknawi tampak pada karakter. Seperti apa kita merespon kezaliman dan ketidakadilan di depan mata. Sikap inilah mendasari perjuangan para pahlawan melawan penjajah. Merdeka maknawai ialah sikap mental. Itulah mengapa terdapat syair “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” dalam lagu Indonesia Raya. Selagi kita diam melihat kezaliman, kemungkaran dan ketidakadilan, jangan harap buah kemerdekaan dapat dirasakan.
Semoga di hari istimewa kita diberi kekuatan merawat warisan kemerdekaan dalam rangka mewujudkan bangsa gemah ripah loh jinawi; baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur.
Penulis : Dr. (H.C.) H. SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM, ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU